di setiap padang stepa
yang di lalui sang pertapa
tercipta sketsa-sketsa
dan oase-oase fatamorgana
penat telah lewat
dan waktu masih melingkar menggeliat
rebah malas langit hangat
meranggi hati
di sini tempatku berdiri
menanti…
menanti…
menanti…
bila engkau tiba pada saatnya nanti
diri telah kukemasi
dan siap sedia pergi…
“selamat tinggal
dunia tak kekal”
Ikhlaskanlah
Tuhan…
barangkali dosa-dosaku tak sempat terbasuh
ampunilah ikhlaskanlah
panjang perjalanan membuatku lelah
atau mimpi terlalu sarat
harapan terlalu berat
untuk kuwujudkan
sementara aku bukan siapa-siapa
hanya sedikit kutahu abata
Alif Baa Taa
selebihnya tiada
Tuhan
ketika malaikatMU mengetuk pintu rumahku
basuhlah kesalahan dan noda-nodaku
dengan air mata ikhlas
meski barangkali tak pantas
Mati, pertemuan yang dinanti
aku bertanya pada sesosok tak berdaya
yang mencintai cintanya sampai batas waktunya
tentang makna cinta bagi diri yang terluka
“inilah cinta itu”, katanya
sambil ia tahan nikmat derita
di tiang penghabisannya
“inilah cinta itu”, ulangnya
dan tiba-tiba darah segar mengucur dari hatinya
sesaat sebelum ia mati tak berdaya
Tersenyum, bertemu kekasihnya
-mengingat perjuangan Umar Mukhtar-
Terlambat
tinggal jemari bergerak lantang
tubuhku kini hanya telentang
di atas arsir telanjang
ingin hati menulis ‘aku’
di atas tanah keras berbatu
tapi sayang waktu dulu menjemputku
semua telah mengabu
dan aku mati membeku
Sebuah Tanya
usia hanya memberi tanda
berapa lama kita pinjam dunia
setiap detik yang berlalu
bagai hitungan nafas satu per satu
Sesekali ku bertanya pada malam
yang masih saja berwajah muram
kehidupan adalah kesementaraan yang di senangi
dan kematian adalah kepastian yang di takuti
mengapa?
Penerimaan
jika ku pergi, jangan cemaskan aku
jangan tangisi aku
sebab aku bukanlah siapa-siapa bagimu
maka mustahil jika kekepergianku
hanya membuat luka di hatimu
tapi biarlah
semua menjadi kisah
semua menjadi hikmah
-Harits- (Bengkel Puisi)
Tinggalkan komentar