Madinah dalam keadaan siaga penuh. Umat Muslim mencium gelagat perang pasukan Abu Shufyan. Situasi sangat genting. Dalam situasi seperti itu, seorang sahabat, Hanzhalah, dengan penuh ketenangan dan keyakinan justru menikah.
Hanzhalah menikahi Jamilah, kekasihnya, di malam yang keesokannya perang Uhud berkobar. Ia meminta izin Nabi Sallallahu alahi wassalam untuk bermalam bersama istrinya. Nabi pun mengijinkan. Tak seorangpun tahu, nasib seseorang di medan peperangan, termasuk bagi pengantin baru seperti Hanzhalah. Karena itu, ia memanfaatkan waktu berbulan madu sepenuhnya.
Tatkala tubuh Hanzhalah dan istrinya bermandikan keringat bulan madu, sungguh di mata pengantin baru ini dunia seolah menjadi milik berdua. Memadu segenap cinta di ujung waktu yang tersisa. Ranjang nan hangat dan tatapan istri yang memikat nyaris membuat si pengantin melangkah pun berat. Saat fajar menjelang, panggilan berperang pun datang berkumandang…
“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”
Genderang perang itu begitu lantang berkumandang. Hanzhalah tergugah dari pelukan cinta sang istri. Zirah (Seragam perang) perang dikenakan dan pedang disematkan. Sesaat, ditatapnya wajah sang istri dengan penuh rasa cinta. Wajah bahagia itu diusapnya dan sebuah ciuman hangat mendarat di keningnya. Satu tarikan nafas panjang, Hanzhalah pamit ke medan perang. Sungguh, bila bukan karena ghirah (semangat beragama) yang membuncah di dadanya, takbir perang itu takkan disambutnya. Suara itu laksana pekik surgawi yang lama dinanti.
Dengan derai airmata sang istri yang seolah tak rela, Hanzhalah bergegas ke medan perang. Sang istri sungguh mengerti. Di atas mahligai suci perkawinan mereka, cinta kepada Ilahi dan Nabi bertahta dan menyisihkan segalanya. Ditatapnya punggung Hanzhalah yang tertutup zirah untuk terakhir kalinya. Bibirnya lirih berzikir, “Yaa Mutakabbir, sambutlah suamiku dengan iringan takbir!”
Alangkah gagahnya Hanzhalah di medan perang Uhud. Ayunan pedangnya deras berkelebatan menebar kematian. Lihatlah! Wajah Hanzhalah bersinar cemerlang. Raut kebahagiaan terpancar di parasnya. Seolah wajah itu berkata, “Istriku ridha dengan kepergianku!” Tatapan matanya sungguh meruntuhkan nyali orang-orang Quraisy. Di sela-sela pekik takbir yang bersahutan, tubuh dan zirah perang Hanzhalah, basah oleh keringat. Keringat bulan madu semalam, tiada artinya dengan keringat Uhud.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, berhasil menelikung gerakan Hanzhalah. Ia berhasil menebas tengkuknya dari belakang. Darah pun muncrat. Tubuh gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah. BRUUK!!! Luka-lukanya begitu parah. Hujan tombak dan panah dari segala penjuru menorehkan syahid di tubuh yang basah kuyup itu. Para sahabat yang berada di sekitar dirinya bergegas memberikan pertolongan. Sayang, mereka terlambat.
Tak berapa lama kecamuk perang surut. Sepi memagut hari. Perihnya luka-luka yang menganga mendekap sukma. Hanzhalah gugur sebagai syuhada di medan Uhud. Jasadnya terkulai di Uhud.
Terlihat semburat cahaya terang dari langit membungkus jenazah Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Terjadi hujan lokal. Tubuhnya terangkat dan terbolak-balik seolah air hujan hendak memasahi sekujur tubuhnya. Kilauan cahaya putih membias di sela-sela tetesan hujan. Akhirnya, hujan mereda. Cahaya terang mulai padam. Tampak iringan kemilau cahaya putih melesat ke langit. Tubuh Hanzhalah kembali turun ke bumi.
Subhanallah! Hujan lokal deras mengguyur Hanzhalah? Para sahabat yang menyaksikan basahnya tubuh dan zirah perang Hanzhalah, tak urung keheranan. Mereka lantas membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw. Diiringi wajah para sahabat yang bertanya, Rasulullah meminta agar istri Hanzhalah segera dihadirkan.
Begitu tiba di hadapan Nabi, beliau bercerita tentang Hanzhalah. Kepada janda Hanzhalah, Nabi bertanya: “Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”
Wanita itu tertunduk. Rona pipinya merah bersemu. Dengan senyum tipis penuh malu, ia berkata: “Suamiku Hanzhalah, pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah!”
Rasulullah kemudian berkata kepada semua yang hadir. “Ketahuilah oleh kalian. Jenazah Hanzhalah telah dimandikan para malaikat. Bayang-bayang putih itu adalah istri-istri Hanzhalah dari kalangan bidadari yang datang menjemput. Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai Hanzhalah, duhai suami kami tercinta. Sungguh, lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita ke peraduan.”
*********
Sungguh, Romeo tak perlu mati demi Juliet. Qais tak perlu menjadi majenun karena dilamun rindu pada Laila. Romeo masih bisa meneruskan hidupnya tanpa Juliet. Qais tetap bisa waras tanpa Laila. Kawan, engkau pasti bertanya. Kulihat wajah-wajah penuh tanda tanya. Ada apa dengan Hanzhalah, Romeo-Juliet dan Qais-Laila? Apa hubungan di antara mereka? Kenapa kisah mereka dituturkan di sini? Apa esensinya?
Kawan, engkau mungkin amat mengenal Romeo-Juliet. Novel satir gubahan William Shakespeare memang mendunia. Berapa versi Romeo-Juliet telah difilmkan dan meraup pundi-pundi dolar. Engkau mungkin bertanya siapa Qais dan Laila? Pun, segelintir orang mafhum dengan Hanzhalah. Kawan, semua ini kisah tentang cinta.
Apa yang membedakan Hanzhalah, Romeo-Juliet dan Qais-Laila? Baca Selengkapnya..
-7.800000
110.400000
Komentar Terbaru